Suara Millennials dan Gen Z Indonesia.

Petrodollar Bumi Lancang Kuning

On 6/13/2016 with No comments

 Sumur Migas Benggala 1 (BGL 1) di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Binjai, Langkat

Gambar penemuan sumur minyak dan gas selalu menjadi berita besar. Jika berpotensi, beritanya bahkan bisa menjadi isu internasional. Misalnya di tahun 2007. Perhatian dunia terpusat ke Brazil, ketika pemerintah negara penghasil kopi dan susu kedelai itu mengumumkan bahwa mereka telah menemukan dua lokasi eksplorasi yang potensial menghasilkan minyak jutaan barel selama kurun waktu minimal 30 tahun: Sugar Loaf Field di perairan lepas pantai Sao Paolo dan Lula Oil Field di Santos Basin, Rio De Janeiro.

KEHEBOHAN tersebut lazim adanya. Minyak dan gas memang masih jadi primadona terdepan di kolong jagat. Ia berjuluk The Black Gold, si emas hitam. Kalimat usang "siapa menguasai minyak maka menguasai dunia", dalam artian tertentu, hingga kini bahkan tetap berlaku. Minyak, dan juga gas, adalah sumber-sumber bahagia sekaligus malapetaka.
Komoditi ini mendatangkan kebahagiaan apabila bisa dikelola tepat guna. Sebagian besar negara penghasil minyak menjelma negara petrodollar. Negara bergelimang kemewahan semacam Kuwait, Qatar, atau Brunei Darussalam. Sebaliknya, jika ditangani secara amburadul, minyak dan gas mencuat jadi sumber celaka, menyulut perang saudara berkepanjangan seperti yang terjadi di Sudan, Angola, dan Republik Demokratik Kongo.
Baru-baru ini, kabar menghebohkan yang sama datang dari Langkat, Sumatera Utara. Potensi eksplorasi sumur minyak dan gas ditemukan di sana. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini melalui Pertamina, belum mengeluarkan pengumuman resmi sebab mereka masih melakukan survei tiga dimensi dan uji seismik dengan cakupan 23 kecamatan yang ada di Langkat.
Pertamina telah melakukan tes eksplorasi di Sumur Migas Benggala 1 (BGL 1) di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Binjai, Langkat. Dari 11 titik, tes dilakukan di sembilan titik. Perkiraan potensi eksplorasi minyak yang dihasilkan adalah 8000 barel per hari. Dalam satu tahun bisa dieksplorasi lebih kurang 255 ribu barel. Sedangkan gas diperkirakan mencapai 4,3 MMBTU (satuan eksplorasi gas, yaitu 'Juta British Thermal Unit').
Taufiqurahman, anggota Tim Geologi Pertamina untuk pengeboran BGL 1, mengatakan, dari sembilan titik di mana tes ekspolorasi dilakukan, sumber titik migas paling besar terdapat di tiga titik, yaitu titik 6 pada kisaran kedalaman 1.300 MD, titik 8 pada 2.400 MD, dan titik 9 pada kisaran 2.600 MD.
"Di titik 8, ketika dilakukan pengeboran, didapati semburan gas yang terbilang besar dan kondensat. Pertamina masih menunggu hasil laboratorium untuk menentukan di titik mana Put On Production Sumur BGL 1," katanya.
Apabila tes eksplorasi memang merujuk positif pada potensi ini, bisa dibayangkan betapa besar tambahan pemasukan, tidak saja untuk kas Kabupaten Langkat dan Provinsi Sumatera Utara, melainkan juga pemerintah Indonesia.
"Kita doakan semoga ini segera beroperasi. Sebab bukan hanya Langkat yang merasakan, kabupaten kota lain juga akan kecipratan," kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Langkat, Iskandar.
Hitung-hitungan telah disusun. Menurut Iskandar, nantinya Pemkab Langkat akan mendapatkan pemasukan untuk kas daerah sebanyak 12 persen. Sedangkan gas bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, hasilnya 69,5 persen untuk pemerintah pusat, dan 30,5 persen untuk daerah. Rincian persentase 30,5 persen untuk daerah ini adalah 6 persen untuk provinsi, 12 persen untuk kabupaten penghasil, dan 12 persen dibagikan untuk kabupaten-kabupaten kota lain di Sumut.
Persoalan "bagi-bagi hasil" barangkali tak perlu terlalu dicermati. Paling tidak untuk saat ini. Sebab pada dasarnya, ada hal lain yang jauh lebih krusial. Seandainya benar analisa awal Pertamina bahwa Sumur Migas Benggala memiliki kandungan minyak dalam jumlah besar, dapatkah komoditi ini segera dieksplorasi? Jika bisa dilakukan, seperti apa masa depannya? Memicu konflik atau tidak?
Pertanyaan ini layak dikedepankan. Mengacu pada hasil Global Petroleum Survey 2011 oleh Fraser Institute, terdapat enam faktor yang menghambat investasi sektor migas di Indonesia. Faktor-faktor ini adalah, (1) pemberlakuan Asas Cabotage; (2) tidak jelasnya iklim investasi; (3) tumpang-tindihnya peraturan; (4) cost recovery yang semakin ditekan; (5) perilaku korup dan hukum yang tidak dapat dipercaya; serta (6) ancaman bagi warga negara asing terkait tuduhan perusakan lingkungan hidup.
Dari keenam faktor ini, poin (3) dan (5) harus benar-benar menjadi perhatian serius Pemkab Langkat –dan Sumut pada umumnya. Faktor (1) dan (2) sesungguhnya tak kalah serius. Keduanya satu sama lain erat berhubungan, namun biarlah itu jadi urusan pemerintah Indonesia. Barangkali saja, misalnya, bisa diberlakukan kebijakan khusus. Sebab ekspolorasi besar-besaran terbilang mustahil dilakukan apabila kapal-kapal asing tidak diberi keleluasaan lebih besar untuk hilir-mudik di perairan Indonesia. Asas Cabotage diatur dalam UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Asas Cabotage adalah kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Lalu kenapa harus kapal asing? Karena memang investor asing –mau tak mau– memang harus digandeng. Pertamina memiliki modal, baik finansial maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Tapi dalam hal eksplorasi minyak dan gas, mereka tetap tak bisa bekerja sendiri. Dalam hal ini kita tak perlu terlalu sempit menakar nasionalisme sebab bahkan Arab Saudi dan negara-negara timur tengah (kecuali Iran) yang sudah jauh lebih "berpengalaman", tetap melakukan hal yang sama. Jika pun ternyata tetap tak ada kompromi terhadap Asas Cabotage, pemerintah mungkin bisa mencari jalan keluar lain.
Sedangkan poin (6), hemat saya tidaklah akan terlalu jadi masalah. Adat kebiasaan masyarakat di Sumut, Langkat khususnya, berbeda jauh dibandingkan, misalnya, di Papua. Sentimen terhadap warga asing di sini tidak besar. Masyarakat Langkat yang berakar Melayu cenderung terbuka pada pendatang. Terlebih-lebih jika para pendatang itu “bermaksud baik”.
Sampai di sini pertanyaannya, siapkah Pemkab Langkat memapas kerumitan birokrasi dan menumbuhkan kepercayaan investor bahwa suntikan dana mereka tidak dikorupsi?
Kerumitan birokrasi di Indonesia sudah menjadi cerita umum. Bahkan sudah menjadi semacam anekdot pula. Ada pertanyaan: apa yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Jawabnya birokrasi. Kelompok yang sudah begitu tinggi apriorinya bahkan bilang, menyindir birokrasi: jika boleh dipersulit kenapa harus dipermudah. Dan birokrasi, biasanya, berujung pada korupsi, juga kolusi, dan nepotisme.
Bupati Langkat H Ngogesa Sitepu, telah menggaransi hal seperti ini tidak akan terjadi. "Penemuan sumur ini harus kita syukuri sebagai kekayaan alam bumi lancang kuning untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pemkab Langkat akan memberikan support pada pihak Pertamina agar dapat bekerja sesuai prosedur dan mengutamakan keselamatan. Kita siap memberi dukungan maksimal terhadap proses eksplorasi ini," ucapnya.

Tangan-tangan Tak Terlihat
Garansi bupati tentu menenteramkan. Namun ada persoalan lain yang juga tidak bisa begitu saja diketepikan, yaitu eksplorasi liar oleh warga. Di negara-negara penghasil minyak lain, terutama di benua Afrika, eksplorasi secara liar seperti ini juga kerap terjadi. Baik yang terkoordinir maupun tidak.
Selain merugikan, ekspolorasi liar ini juga sangat membahayakan bagi pelakunya. Contoh nyata dialami delapan warga Desa Buluh Telang, Kecamatan Padang Tualang, Langkat. Tanpa bekal pengetahuan dan peralatan memadai, mereka nekat melakukan eksplorasi. Sumur yang digali dengan perhitungan serampangan itu pun meledak. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, tiga dari delapan warga tersebut akhirnya tewas.
Semestinya, musibah ini bisa menghadirkan efek jera. Tapi siapa bisa menjamin. Bayangan keuntungan yang tidak sedikit, dapat mendorong kenekatan. Terlebih lebih jika ada oknum yang datang memberikan semacam "perlindungan".
Tangan-tangan "tak terlihat" seperti inilah yang mesti diantisipasi oleh Pemkab Langkat. Caranya? Selain menetapkan aturan-aturan bersanksi tegas yang juga harus diterapkan tanpa pilih-pilih bulu, Pemkab Langkat sebenarnya juga bisa mengusulkan pada DPRD untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Lewat BUMD ini, Pemda Langkat bisa berkoordinasi lebih intens dan leluasa dengan Pertamina untuk mengelola sumur-sumur liar dan sumur tua (peninggalan eksplorasi ilegal beberapa tahun lampau) yang menurut Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Langkat, Iskandar, jumlahnya mencapai 3800. Dengan demikian, ada perhitungan kerja yang lebih terukur hingga eksplorasi sumur-sumur ini tidak mengganggu eksplorasi utama di Sumur Migas Benggala 1.
Berdasarkan data OPEC, Indonesia memiliki tak kurang dari 37 ladang eksplorasi minyak. Terbesar di Ereke, Buton Utara, Sulawesi Tenggara, dengan kandungan minyak diperkirakan sebanyak 20 miliar barel. Sedangkan di Sumatera terdapat 17 ladang, termasuk Pangkalan Brandan yang telah dieksplorasi sejak tahun 1885.
"Saya berharap, Langkat bisa seperti Pangkalan Brandan yang berjaya dengan hasil kekayaan alamnya," kata Ngogesa Sitepu. Semoga!(*)
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »