Waktu itu, aku masih ingat dengan jelas di cafe yang biasa aku datangi. Dengan berteman sebuah buku yang cukup tebal hingga mungkin butuh waktu satu atau dua minggu menyelesaikannya. Lebih tepatnya novel cinta. Dengan begitu banyaknya judul disetiap penerbitannya.
Segelas cappucino dingin yang sudah hampir habis setia menemaniku setiap sore menjelang malam. Duduk disudut cafe yang menghadap langsung bagian bar di cafe yang berkonsep indoor itu, dan lantas saja karena sudah cukup seringnya aku mengunjungi cafe itu, seolah kursi tersebut selalu kosong dan menunggu untuk aku duduki.
Ketika aku ingin menghabiskan minuman dingin itu aku menyadari ternyata novel yang seharusnya sudah selesai aku baca, ternyata masih tersisa dua part lagi. Padahal novel itu harus segera aku kembalikan pada Rhia, sahabatku, dan dimana juga hari itu aku sudah harus mengembalikannya.
Tanpa berfikir panjang lalu aku memesan lagi segelas cappucino dingin kepada salah satu waiter, yang kelihatannya saat itu sangat sibuk sekali menghandle pelanggan lain yang juga ingin memesan.
“permisi, mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku mendengar suara yang aku sendiri kaget bahwa pemilik suara tersebut adalah salah satu bartender yang ada di cafe tersebut. Karena sudah terlalu sering aku menghabiskan waktu ditempat itu, sampai pekerja-pekerja cafe tersebut mengenalku dengan sangat baik. Karena ia melihatku kebingungan pada siapa harus memesan minuman, akhirnya ia menghampiriku.
“eh-mmm mas, kaget saya, saya pikir siapa, ternyata mas...”
“ Ini mas saya mau pesan satu lagi cappucino dinginnya ya”. Bartender itu senyum dengan sangat manis melihat kekagetanku karena kehadirannya.
“pesan lagi, mbak? Biasa juga sekali pesan aja”, balasnya.
“iya nih mas, seharusnya memang Cuma sekali aja. Tapi karena ini belum selesai dan harus segera dikembalikan, jadi saya pesan lagi deh mas”, jawabku dengan menunjuk kearah novel yang kumaksud. Bartender yang berdiri tepat di samping aku duduk kini mulai mengerti kenapa aku memesan lagi segelas minuman itu.
“ohh begitu. Ya sudah saya buatkan sebentar ya”. Sambil mulai berlalu dengan menyisakan senyumannya yang membuatku salah tingkah, ia berkata lagi sambil memperkenalkan dirinya dan mengarahkan tangan kanannya untuk berjabat tangan denganku, “oh ya, saya Arman. Jika ada butuh apa-apa, bilang sama saya aja ya”. Dan lagi-lagi Arman memberikan senyuman manisnya kepadaku yang semakin membuatku terpaku setelah bersalaman padanya hingga ia pun berlalu untuk bergegas membuatkan pesananku.
Hingga akhirnya dengan sekali sedotan terakhir minuman yang hampir tak lagi dingin itu, begitu juga novel itupun selesai aku baca. Sudah tujuh hari aku menyelesaikan membacanya, di tempat ini, dengan minuman yang selalu sama aku pesan.
“mbak belum pulang? Arman menghampiriku masih duduk di sudut ruangan dengan ia yang tak lagi mengenakan seragam kerjanya.
“ini baru siap-siap mau pulang. Baru selesai dibaca”. Sambil berdiri dan berbarengan dengan Arman keluar dari cafe itu yang ternyata ia juga akan pulang. “panggil Sinta aja, berasa tua akunya kamu panggil mbak”. Tawa ringanku hingga memecah senyum Arman dengan pernyataanku yang juga sedikit lucu menurutnya.
“kamu sering juga ya ke cafe ini, bahkan aku juga sering buatin minuman yang selalu sama kamu pesan. Makanya tadi aku lihat kamu kebingungan karena gak ada satu waiter pun yang menghampiri kamu”, ucap Arman yang memulai pembicaraan menjadi lebih santai di samping pintu masuk cafe itu. “gak bagus buat kesehatan menurut aku kalau kamu terlalu sering minum itu. Lebih bagus kamu minum air putih atau jus, lebih sehat lagi”.
Arman membuatku terpaku lagi, namun aku langsung membalasnya dengan memberikan sedikit guyonan, “jus ya? Hmm... enak juga, apalagi kalau kamu yang buat ya, pasti aku bakalan pesan sampai tiga kali,” balasku yang kini membuat Arman tertawa hingga matanya sedikit menyipit akibat guyonan yang kubuat.
“terima kasih hari ini ya, Arman. Senang kenal sama kamu. Aku harus pulang sekarang”, Tutupku malam itu dan berlalu dari Arman yang masih berdiri disamping cafe sampai bayanganku yang tak terlihat lagi. Arman seperti pelangi. Yang dimana aku tak berharap muncul, namun kehadirannya membuatku jadi berwarna.
Namun begitupun pelangi muncul, ia tak pernah lama mewarnai langit biru...
Waktu semakin cepat berlalu. Tak terasa perjumpaanku dengan Arman waktu itu sampai detik ini sudah sangat banyak menyisakan hal-hal menarik dan tentunya indah. Arman sangat istimewa. Aku belum pernah menjumpai sosok seperti dia. Hampir setiap hari kami selalu berkomunikasi. Karena pertemuan waktu itu di cafe, kami menjadi lebih sering bercengkrama dan tentunya kehadiranku di tempat itu menjadi lebih sering lagi.
Bahkan aku seperti sedang bekerja ditempat itu. Mulai dari bukanya cafe itu hingga Arman selesai bekerja, aku selalu hadir. Kini tempat yang biasa aku tempati seakan cemburu karena tak pernah lagi aku duduki. Aku jadi lebih sering duduk di kursi yang bisa melihat langsung Arman meracik minuman.
Apalagi Arman suka sekali membuatkan aku minuman yang menurutku aneh karena hasil eksperimennya sendiri, namun rasanya tidak buruk. Selesai Arman bekerja, kami sering duduk walau hanya sekedar bercerita. Atau terkadang kami juga menonton film di bioskop. Dan setelahnya bisa saja makan. Selebihnya, kami juga sering menghabiskan sisa-sisa waktu yang ada sambil teleponan. Entah apa yang kami bicarakan tapi saat-saat itu sangat indah. Arman bukan hanya sekedar pelangi yang hanya sekejap muncul mewarnai langit biru, Arman lebih dari itu.
Hingga hari ini, aku mengatakan cintaku pada Arman. Dan tebak saja, Arman terkejut mendengar pernyataanku.
“apa yang kamu lihat dari aku? Sampai kamu menyatakan hal seperti itu dimana kita baru beberapa bulan saling kenal”, ucap Arman yang malah bertanya balik padaku dan sangat membuatku terpaku.
Aku menjelaskannya. Semuanya. Mengapa bisa secepat itu aku jatuh cinta padanya dimana baru beberapa bulan kami saling kenal. Namun aku merasa kami sudah sangat cocok. Ungkapan yang kuutarakan padanya sedikit membuat wajah Arman berubah drastis. Entah apa yang salah saat aku mengungkapkannya. Tapi Arman sudah cukup membuatku menyesali apa yang kuutarakan padanya.
Aku memilih diam dan meninggalkan dirinya yang saat itu masih belum mengatakan apapun. Meninggalkan Arman yang masih duduk di tempat ia bekerja malam hari setelah cafe itu mulai bersih-bersih karena akan tutup.
Malam ini dingin sekali. Hujan yang turun dari sore tadi tak kunjung berhenti sampai jam 9 malam ini. Membuatku hanya bisa membungkus diri dibalik selimut tebal yang jarang kupakai setiap tidur malam. Namun karena cuaca yang tak kusuka ini, kini aku harus memakainya.
Memandang kearah luar yang menghadap ke langit-langit yang tak berbintang malam ini. Jendela yang telah basah karena hujan terus membasahinya. Sesekali aku juga melirik kearah telepon genggamku, yang juga sedari kemarin tak ada berbunyi panggilan masuk, sms, bahkan pesan blackberry messenger dari Arman.
Kuhitung sudah lebih 24 jam Arman tak ada walau hanya sekedar menanyakan apa yang sedang kulakukan. Kejadian 2 malam lalu cukup sulit buatku dan paling sulit buat Arman. Terakhir aku meninggalkan Arman dengan raut muka yang datar tak merespon sedikitpun pernyataan sukaku padanya.
Apa yang salah dengan ini? Aku hanya berbuat hal yang benar aku rasakan, apakah itu salah?
“Sinta.. Kamu lagi apa?”
Pesan dari blackberry messenger pun berbunyi dan sontak membuatku buru-buru membacanya dan Arman menanyakan apa yang sedang aku lakukan. Tapi bukannya malah membalas, aku malah menghubungi Arman.
“maaf aku udah buat kamu kebingungan. Tapi aku lagi pengen sendiri aja, sedang tidak ingin diganggu. Sekali lagi aku minta maaf..”
Maaf yang kudengar dari Arman sedikit tak bisa kuterima dengan akal sehatku. Tapi hanya kutelan saja permintaan maafnya dan mendengarkan kembali yang ingin dikatakannya lagi.
“besok malam aku tunggu di cafe ya. Ada sesuatu yang mau aku kasi ke kamu..”
Dan dilain kesempatan, semoga hujan turun agar dapat melihat pelangi lagi..
Aku menghela napas panjang sekali pagi ini. Melepaskan segala yang tengah aku rasakan. Tak cukup lama tadi malam aku berkomunikasi dengan Arman. Tak seperti biasanya yang sampai larut malam. Baik aku ataupun Arman, tak membuat perbincangan itu menjadi panjang. Sehingga tak butuh waktu lama untuk mengobrol. Sangat tak bersemangat, ya itulah yang kurasakan.
Namun permintaan untuk menemuinya nanti malam di cafe tempat ia bekerja menyisakan pertanyaan tak enak dan kecurigaan yang aku harap tak akan pernah terjadi. Arman, kau membuatku gila!
Sedari siang aku sudah duduk manis ditempat biasa kala aku membaca buku di cafe ini, yang belakangan sangat jarang aku berada di spot favoritku ini. Namun yang berbeda kali ini adalah hanya orange juice yang kupesan, bukannya cappuccino dingin. Novel cinta yang biasa aku baca, kini majalah tentang kesehatan yang setia menemani siangku. Dan entah kenapa semua kebiasaanku yang dulu telah berubah drastis dan jika teman-temanku tau yang kulakukan, mereka akan mengatakan ‘not you’. Tapi aku sangat menikmatinya.
Dengan musik dicafe itu salah satu band asal jepang kesukaan Arman One Ok Rock, yang pertama aku dengar sama sekali tak menyukainya karena aliran lagu seperti itu sangat tak kusuka. Namun lama kelamaan karena Arman selalu minta lagu itu diputarkan saat jam kerjanya, aku jadi terbiasa mendengarkannya. Dan tanpa sadar tubuhku pun seirama bergerak mengikuti alunan musiknya.
Tak terasa sudah menjelang sore aku berada disini dan perutku sudah melolong minta diisi. Dan aku minta waiter untuk membuatkan roti panggang coklat keju yang sangat lezat di cafe ini. Tapi tiba-tiba aku teringat akan perkataan Arman beberapa waktu lalu saat ia mengajakku untuk makan siang.
“aku masih kenyang, Arman. Kamu jangan paksa aku dong. Lagian kamu ini merusak dietku aja..” tukasku waktu itu dengan wajah sebal karena Arman memaksaku untuk makan siang yang padahal sebenarnya dari pagi sampai habis jam makan siang, aku belum ada makan apa-apa, dan Arman tau itu.
Seolah kami telah tinggal satu rumah. Karena aku tak pernah bisa menyembunyikan apa yang kukerjakan, jadi aku memberitahukannya sampai diet yang kulakukan dimana memang dari pagi hanya minum segelas air putih dan roti tawar yang hanya 2 lembar. Dan lalu Arman menunjukkan wajah tak sukanya yang jarang sekali ia tunjukkan padaku karena ia sangat tak suka aku melakukan diet gila itu, “aku gag suka kamu ngelakuin diet itu.
Buat apa?? Yang ada kamu malah sakit dan gag sehat. Aku terima kamu apa adanya kok, mau kamu kurus atau lebih dari sekarang..” Arman sangat kesal hingga raut wajahnya melukiskan ketidaksukaannya atas perbuatanku.
Tapi Arman tetaplah Arman. Mau seperti apapun marahnya dia terhadapku, namun ketahuilah, Arman tak sesungguhnya benar-benar marah. Akhirnya ia memesankanku seporsi nasi merah lengkap dengan sayuran dan orak-arik telur dan condiment lainnya cocok untuk yang melakukan diet sepertiku dan tentunya sehat. Dan seketika senyum merekah diwajah Arman dan tak ketinggalan gigi kelincinya yang membuatku semakin gemas. Karena teringat itu, akhirnya aku mengganti pesanan yang sebelumnya dengan makanan lain yang mengandung karbohidrat.
Sudah hampir pukul 8 malam, tetapi batang hidung Arman belum juga kelihatan. Padahal seharusnya jadwal ia bekerja. Aku bertanya dengan pekerja disini, tetapi mereka hanya menggelengkan kepala sambil mengatakan “tidak tau”. Aneh. Kemana Arman??
“mbak Sinta,” seorang bartender menghampiriku sambil membawa sekotak besar berukuran 30x24 cm berwarna biru muda polos. “mohon diterima, mbak. Dari seseorang yang mbak kenal..”Terheran-heran tapi aku tetap menerima sekotak besar yang entah apa isi didalamnya. (TR)
To be continue..