Disudut pintu masuk yang berdiri tegak pepohonan rindang yang kelihatan sudah cukup lama tumbuh. Seorang ibu paruh baya seperti ibuku memerhatikan sambil mengecek lagi apa yang kurang untuk kebutuhan anaknya. Padahal anaknya sudah cukup dewasa, sebayaku. Tetapi tingkah laku ibunya memperlakukan anaknya seperti yang hendak masuk TK pertama kalinya, sangat khawatir, takut, ragu, terlihat jelas diraut wajahnya. Padahal anaknya terlihat cukup malu atas perlakuan ibu itu kepadanya. Berulang kali ia mencoba memberitahukan ibunya untuk berhenti melakukan perbuatan berlebihannya karena sang anak yang sudah cukup malu. Dan akupun hanya tertawa ringan sambil menggelengkan kepala.
Aku, pelajar kelas 10, angkatan pertama di sekolah Akademi Maritim, permintaan ayahku tentunya, agar aku dapat meneruskan pekerjaannya sebagai kapten disebuah kapal pesiar yang cukup terkenal. Bukan Titanic tentunya. Dimana teman-teman SMPku yang kebanyakan dari mereka melanjutkan ke jenjang Sekolah Teknik Menengah, namun aku malah terperangkap disini, atas keinginan ayahku.
Ayahku. Selalu memaksakan kehendaknya yang hampir semuanya tak aku inginkan. Dari kecil aku sudah dididik layaknya prajurit siap tempur. Kedisiplinan yang diberikan ayah menjadikanku anak yang benar-benar mengikuti lurusnya jalan tanpa bisa berbelok ataupun berbalik. Sampai teman-teman memanggilku dengan sebutan Si Robot. Ya, itulah aku, sangkin terlalu kakunya, sehingga panggilan itu tak salah dialamatkan padaku. Namun aku bisa apa? Menjadi anak yang baik, mendengarkan apa yang dikatakan orang tua, tak pernah mengatakan tidak sekalipun aku dipaksa memakan makanan yang tak kusuka. Aku tak bisa memberontak sekalipun hatiku berkata tidak.
Pernah sekali aku mencoba untuk melakukan hal yang ayah tak suka, tetapi hasilnya? Coba kalian bayangkan saja sendiri apa yang dilakukan seorang ayah ketika mendapati anaknya berlaku salah. Aku merokok diam-diam di bangunan tingkat yang tak ditinggali siapapun hingga ayah menemukanku dan memberikan hukuman yang tak bisa kusebutkan karena itu cukup mengerikan buat anak seumuranku pada saat itu. Kurang lebih satu minggu ayah menghukumku, itupun karena bujuk rayu ibuku yang sedih melihat anaknya diperlakukan berlebihan dan tak sesuai umur. Walau akhirnya ayah menghentikannya, tetap saja, ayah tetaplah ayah. Ia tetap saja menghukumku dengan cara yang lain.
Ibuku. Ia adalah malaikatku. Malaikat tak bersayap. Saat berada didekapannya, aku merasa waktu berhenti sejenak. Terasa sebentar tetapi nyaman yang kurasakan sangat luar biasa. Ibu selalu membantuku saat ayah mulai dengan sikap otoriternya. Ibulah yang selalu berkata tidak saat ayah ingin meluncurkan keinginan-keinginannya. Dengan begitu, ayah pun mengurungkan niatnya hanya karena ucapan ibu yang dengan alasan masuk akalnya. Tak banyak yang ibu lakukan karena hampir tak semuanya ayah membatalkannya karena bujuk rayu ibu. Walaupun begitu, ibu sudah cukup luar biasa untukku.
Namaku pun dipanggil, dilapangan sekolah yang cukup luas itu. Dengan banyaknya Taruna baru yang tak kukenal satu orang pun. Dengan berbaris aku hanya mengangkat tangan saat namaku disebutkan, cukup cepat, setelah itu kuturunkan lagi tangan ini. Hanya menunjukkan kepada senior bahwa aku hadir. Lalu setelahnya, Taruna yang lain pun juga satu persatu dipanggil. Entah kenapa saat pemanggilan nama ini, aku justru sangat gugup luar biasa. Hingga jantungku tak berhenti detak cepat sampai sudah ada sekitaran 5/6 Taruna yang dipanggil.
***
Aku berkenalan dengan Jaka, cukup tampan, dengan balutan kulit putihnya yang membuatku sedikit iri. Ia menghampiriku duluan disaat aku terduduk sendiri di halaman belakang sekolah ditemani dengan sebotol minuman yang ternyata tak enak dimulutku. Cukup banyak yang kami obrolkan sepanjang jam olahraga. Ya, kami bolos. Jam olahraga yang sangat membosankan karena hanya teori yang ada, bukannya malah praktek. Aneh! Hingga akhirnya, Jaka menanyakan hal yang tak kuiinginkan, sebenarnya.
“kenapa Satria?” tanyanya.
“apanya?” balasku cepat.
“iya, kenapa Satria, nama kamu..”
9 Mei 1989. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Anak satu-satunya dari Kapten Komodor Suyatmoko dan Inna Fadillah. Lahir dengan berat 3,7 kg dan panjang 4,5cm. Cukup berat untuk kelahiran pertama untuk bayi berjenis kelamin perempuan. Ibuku, sangat bahagia mengetahui bahwa buah cintanya selama ini akhirnya dapat dipeluk dan disayangi dengan segenap hatinya. Setelah 15 tahun menikah akhirnya baru saat ini merasakan yang namanya seorang ibu. Namun, lain halnya dengan ayah.
Beliau menginginkan anak laki-laki. Tampan, gagah, berani, dan memiliki jabatan penting seperti dirinya. Penerus dalam keturunannya. Membanggakan nama baik, keluarga. Tak hanya itu, juga berguna bagi banyak orang, untuk negara tentunya. Tetapi semua itu seakan larut, hilang, lenyap begitu saja. Saat melihatku pertama kali lahir, ayah justru tak menggendong dan mengKomatkanku untuk pertama kalinya, sewajarnya yang dilakukan kepada seorang anak perempuan. Kakeklah yang melakukan ritual itu.
Hingga saat aku akan diberi nama. Ayah menunjukkan sikap yang lain. Ia memberiku nama, tetapi nama lelaki, bukan nama perempuan seharusnya. Satria Suyatmoko. Dan kali ini raut wajah ibu dan keluarga lainnya yang berubah drastis. Jelas. Mereka tak menginginkan itu. Mereka menginginkan nama perempua, Sarah Suyatmoko. Lalu, aku juga bisa apa? Aku masih bayi, tak mengerti apa-apa. Keluargaku? Mereka tak dapat menghentikan perbuatan ayah.
“dulu, ayahku ingin seorang anak laki-laki”, ucapku memulai pembicaraan saat terdiam cukup lama akan pertanyaan Jaka. “namun mau berkata apa? Takdir tak berpihak pada ayahku. Aku terlahir sebagai anak perempuan, namun namaku bukan sewajarnya anak perempuan..” terangku, lirih, hingga membuat Jaka tertegun.
Karena ayahku yang menginginkan seorang anak laki-laki, maka ia memperlakukanku seperti anak laki-laki. Mulai dari ia menamaiku Satria, kedisiplinan yang diajarkannya, cara berpakaianku, dan segalanya hingga menutupi identitasku sebagai seorang wanita tulen seutuhnya.
Apalagi rambutku. Ayah memangkas sendiri rambutku hingga pendek gonjes, ia mengatakannya. Tak boleh sedikitpun panjang seperti anak perempuan. Jika sudah mulai sedikit panjang, ayahpun memotonganya menjadi pendek lagi. Apa yang kulakukan? Aku diam saja.
Semuanya kutelan. Pahitnya kehidupan dan takdir yang sudah tertulis digaris tanganku, harus kujalani sebagaimana mestinya. Sekuat apapun aku berusaha untuk menolaknya, menjauhinya, namun tetap saja tak bisa. Takdir itu sudah melekat tak mau lepas. Mungkin inilah keinginan ayah. Aku seorang perempuan namun fisiknya anak laki-laki. Namaku Sarah, tapi mereka memanggilku Satria. Hanya ibukulah, yang memangilku Sarah. Sekali lagi, aku bisa apa? Marah kepada Tuhan karena ia telah memberikanku takdir seperti ini?
“terserah kamu mau panggil aku dengan nama yang mana. Mau Satria, ataupun Sarah. Bebas”. Tambahku lagi menutup pembicaraanku dengan Jaka sambil mulai berlalu.
“tapi asal kamu tau,” berbalik badan dan mendatangi Jaka lagi yang masih tertegun akan kisahku. “aku Sarah, bukan Satria..” (TR)